Jumat, 20 Juni 2014

Modus Penipuan dalam Online Shop dan Perlindungan Hukumnya


Modus Penipuan dalam Online Shop dan Perlindungan Hukumnya
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat menimbulkan adanya suatu gaya baru dalam sistem perdagangan. Beberapa tahun terakhir perdagangan online semakin marak terjadi di Indonesia. Sebut saja Kaskus, berniaga.com, bahkan online shop yang menggunakan facebook atau handphone sebagai alat pemasarannya. Orang-orang berlomba untuk meraup keuntungan dan pendapatan yang lebih dengan memanfaatkan teknologi informasi ini.
Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif yang paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara fisik. Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena tidak memerlukan modal yang besar, pasar yang besar karena internet dapat diakses oleh para konsumen dari seluruh dunia, dan lainnya. Sedangkan bagi para konsumen, berbelanja di online shop dianggap lebih menarik karena harga yang ditawarkan biasanya lebih murah daripada berbelanja secara fisik. Namun dibalik semua kemudahan tersebut, online shop masih menyisakan beberapa persoalan tertutama dalam perlindungan konsumen seperti permasalahan mengenai penipuan, atau barang yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan.
Cara belanja/berjualan secara online sangat membantu bagi penjual atau pembeli yang terpisah jarak dan juga dapat menghapus kendala menghabiskan waktu dalam berbelanja. Cukup dengan menghubungi penjual, sepakat dengan harga, pembeli membayar (biasanya transfer) lalu penjual mengirimkan barang, pembeli bisa mendapatkan barang yang diinginkan.  Namun ringkasnya dan “terlalu” mudahnya cara berbelanja online ternyata memberi celah bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan penipuan. Tidak sedikit calon pembeli maupun penjual tertipu dan mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit. Banyak cara atau motif oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan.
Berikut ini saya sajikan seperti apa bentuk penipuan yang biasa terjadi, dan perlindungan apa yang bisa didapatkan untuk seseorang yang ditipu.
Cara apa saja yang dilakukan oknum penipu?
1. Penipuan Transfer Langsung
Cara ini merupakan cara paling konvensional yang biasa terjadi di dunia maya. Biasanya yang paling dirugikan oleh penipuan konvensional seperti ini adalah calon pembeli. Penipu biasanya bertindak sebagai penjual yang menawarkan barang menarik (biasanya barang elektronik seperti laptop atau gadget) dengan iming-iming harga sangat murah. Penipu, yang berkedok sebagai penjual, biasanya mengatakan bahwa alamat penjual berada di jarak yang sangat jauh atau antar pulau sehingga tidak bisa bertemu langsung atau biasanya dikenal dengan COD (Cash on delivery). Penipu akan meminta calon pembeli untuk mentransfer sejumlah uang terlebih dahulu baru kemudian barang dikirimkan. Ketika calon pembeli mengirimkan sejumlah uang, penipu kemudian menghilang bersama sejumlah uang yang dikirim (biasanya nomor yang dihubungi adalah nomor Handphone dan SIM card langsung tidak aktif).
Ada juga kejadian penjual yang tertipu dengan calon pembeli yang mengiming-imingi membeli barang dengan jumlah yang banyak dengan syarat membayar uang muka terlebih dahulu baru kemudian pelunasan ketika barang sudah diterima. Namun kejadian ini sangat jarang terjadi. Tetapi sebagai penjual, tentu tidak sedikit kerugian yang dialami ketika tertipu oleh kejadian ini.
Bagaimana cara menghindari penipuan seperti ini? Cara paling mudah dan efektif untuk mengatasi penipuan transfer langsung adalah dengan menggunakan jasa pihak ketiga (Rekber). Sebagai pembeli, untuk menjamin “keselamatan” transaksi, anda akan mengirimkan sejumlah pembayaran ke rekber dan bisa dikonfirmasikan untuk dikirimkan ke penjual ketika barang sudah diterima. Sebagai catatan, penjual dan pembeli harus sama-sama setuju dalam menggunakan jasa Rekber. Namun keamanan menggunakan rekber juga memiliki resiko, seperti dibahas di point kedua.
2. Penipuan Rekber Fiktif
Cara ini biasanya dilakukan karena banyak orang menggunakan jasa rekber (orang ketiga sebagai perantara pembayaran) namun calon korban tidak mengetahui bahwa perantara tersebut adalah perantara fiktif atau sudah sekongkol dengan penipu. Penipuan dengan cara ini biasanya menimpa anda yang bertindak sebagai penjual yang menjual barang. Penipu, yang bertindak sebagai pembeli, biasanya seolah-olah takut tertipu sehingga menawarkan sistem pembayaran dengan pihak ketiga (rekber) sebagai syarat bertransaksi. Tanpa korban ketahui, rekber yang ditawarkan adalah rekber fiktif alias rekayasa dengan penipu. Penipu akan mengatakan bahwa sejumlah pembayaran sudah ditransfer ke rekber fiktif. Rekber fiktif biasanya hanya akan mengkonfirmasi ke penjual melalui telepon atau SMS menggunakan nomor HP sehingga penjual segera mengirimkan barang. Ketika barang sudah dikirimkan, kembali lagi, penipu akan menghilang bersama barang yang sudah dikirimkan (sama seperti penipuan nomor 1, biasanya nomor yang dihubungi adalah nomor Handphone dan SIM card langsung tidak aktif). Tidak jarang juga terjadi penipuan “segitiga” dimana penipu bertindak sebagai penjual. Ketika pembeli percaya menggunakan jasa rekber fiktif dan menyetor sejumlah pembayaran, saat itu pula sejumlah uang raib tertipu.
Bagaimana cara menghindari penipuan Rekber Fiktif? Hal utama yang harus anda kenali dalam transaksi dengan menggunakan jasa pihak ketiga adalah KENALI PIHAK KETIGA TERSEBUT. Tidak jarang orang “mengatasnamakan” Rekber dalam bertransaksi karena TERLALU MUDAHNYA transaksi menggunakan jasa rekber tersebut. Ingat, terlalu mudah tidak berarti transaksi anda akan AMAN.
3. Penipuan Transaksi Segitiga menggunakan Rekber.
Ini adalah modus terbaru yang dilakukan oleh penipu dalam beroperasi. Tidak tanggung-tanggung, dengan cara ini dalam satu kali beraksi penipu langsung bisa menipu penjual dan pembeli. Bagaimana cara penipu beraksi?
Pertama, penipu (faisal) bertindak seolah-olah menjadi penjual dan deal dengan calon korban yang bertindak sebagai pembeli (korban defri) dengan nilai transaksi sebesar 500 ribu. Di saat yang bersamaan, faisal bertindak seolah-olah sebagai pembeli dan deal membeli barang seharga 50 ribu dari seorang penjual (korban andi). faisal meminta defri untuk mentransfer melalui rekber dengan tujuan pembayaran ke alamat rekening Korban defri. Setelah itu faisal mengkonfirmasi kepada Korban defri bahwa dia sudah melakukan pembayaran (beserta dengan konfirmasi dari rekber yang menerima dana) dan meminta barang segera dikirim ke alamat yang diminta oleh faisal (biasanya alamat khusus yang sudah ditunggui oleh faisal namun bukan alamat faisal). Setelah itu, faisal memberitahu kepada korban defri bahwa faisal sudah kelebihan dalam mentransfer dan meminta Korban defri untuk melakukan transfer kembali kelebihan dana, namun kali ini tujuannya ke rekening rekber. Setelah mengecek rekening dan benar ada kelebihan dana, tentunya korban defri langsung mentransfer kelebihan dana ke rekening rekber yang diminta oleh faisal. Kelebihan dana tersebut kemudian digunakan kembali untuk membeli barang dari penjual lain. Taaraaa, 2 korban sekaligus tertipu bukan? Hanya pembeli yang tertipu?
Begini, memang kerugian terbesar dari kasus 3 dialami oleh korban defri. Namun apa yang dialami faisal sebagi penjual tentu bisa merusak reputasinya dan ke depannya bisa jadi akan sangat mempengaruhi penjualan dari faisal. Dan satu lagi, defri secara langsung telah tertipu dengan memberikan dana berlebih (yang asalnya dari faisal) kepada Penipu.
Bagaimana cara menghindari penipuan transaksi segitiga seperti kasus 3 kasus diatas? 
Dalam hal ini yang sangat harus diperhatikan adalah kebijakan dari rekber yang digunakan. Sebagai catatan khusus, rekber yang baik adalah rekber yang mewajibkan anggotanya untuk mencantumkan rekening yang dimiliki calon anggota dan wajib didaftarkan untuk diverifikasi ketika mendaftar. Rekber kemudian akan memproses setiap transaksi dari anggota-anggota terdaftar dengan tujuan atau yang berasal dari rekening-rekening yang sudah terdaftar. Jika ada transaksi yang meminta tujuan “dialihkan” ke rekening tertentu, tentu ada sebuah kejanggalan dan pihak rekber tentu memiliki kebijakan sendiri dan berhak membatalkan transaksi tersebut untuk melindungi dana pembeli dan reputasi penjual. Bukan begitu?
Bagaimana kita bisa menilai rekber yang benar-benar menjamin keamanan bertransaksi? Rekber yang terjamin keamanannya biasanya memiliki beberapa ciri tertentu. Pertama, sebagai pihak ketiga dalam hal pembayaran online, Rekber tentunya memiliki website resmi sendiri. Website resmi dalam hal pembayaran sendiri tentunya harus memiliki sistem keamanan sendiri. Oleh karena itu, website pembayaran yang aman biasanya menggunakan secure website (terlihat di bar alamat website dan biasanya dengan menggunakan https://).
Kedua, sebagai badan usaha, rekber yang aman adalah rekber yang memiliki badan hukum usaha atau dengan kata lain sudah berdiri sebagai perseroan (PT) diatas dari jasa rekber tersebut.
Ketiga, berhubungan dengan pernyataan kedua di atas, sebagai sebuah badan hukum atau perseroan, sebuah rekber memiliki rekening atas nama perusahaan. Walau menggunakan jasa berbagai bank dalam layanannya, semua rekening dari masing-masing bank pasti adalah rekening atas nama perusahaan (bukan rekening perorangan).
Selain tiga kasus diatas, masih ada kasus lain yang sudah terjadi atau bahkan akan terjadi.
Bagaimana perlindungan yang bisa didapat oleh korban ?
bagaimana hukum Indonesia mengatasi hal tersebut?
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini diatur mengenai transaksi elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai upaya UU ITE ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik.
UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan benar” adalah meliputi :
1.      Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
2.      Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap sehingga dapat merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah masalah mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba, pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan mengenai hal tersebut.
Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini adalah baik penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun  pembayaran telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?
Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.
Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri. 
Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain.



1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites