Tidak dapat dipungkiri lagi, Online Shop menjadi salah satu alternatif yang
paling menarik bagi konsumen untuk berbelanja selain berbelanja secara fisik.
Bagi pelaku usaha, online shop dianggap menarik karena tidak memerlukan modal
yang besar, pasar yang besar karena internet dapat diakses oleh para konsumen
dari seluruh dunia, dan lainnya. Sedangkan bagi para konsumen, berbelanja di
online shop dianggap lebih menarik karena harga yang ditawarkan biasanya lebih
murah daripada berbelanja secara fisik. Namun dibalik semua kemudahan tersebut,
online shop masih menyisakan beberapa persoalan tertutama dalam perlindungan
konsumen seperti permasalahan mengenai penipuan, atau barang yang tidak sesuai
dengan yang ditawarkan.
Cara belanja/berjualan secara online sangat membantu bagi
penjual atau pembeli yang terpisah jarak dan juga dapat menghapus kendala
menghabiskan waktu dalam berbelanja. Cukup dengan menghubungi
penjual, sepakat dengan harga, pembeli membayar (biasanya transfer) lalu
penjual mengirimkan barang, pembeli bisa mendapatkan barang yang
diinginkan. Namun ringkasnya dan “terlalu”
mudahnya cara berbelanja online ternyata memberi celah bagi
oknum-oknum tertentu untuk melakukan penipuan. Tidak sedikit calon pembeli
maupun penjual tertipu dan mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit.
Banyak cara atau motif oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
melakukan penipuan.
Berikut ini saya sajikan seperti apa bentuk penipuan yang biasa terjadi,
dan perlindungan apa yang bisa didapatkan untuk seseorang yang ditipu.
Cara apa saja yang dilakukan oknum penipu?
1. Penipuan Transfer Langsung
Cara ini merupakan cara paling konvensional yang biasa
terjadi di dunia maya. Biasanya yang paling dirugikan
oleh penipuan konvensional seperti ini adalah calon pembeli. Penipu
biasanya bertindak sebagai penjual yang menawarkan barang menarik (biasanya barang
elektronik seperti laptop atau gadget) dengan iming-iming harga sangat murah.
Penipu, yang berkedok sebagai penjual, biasanya mengatakan bahwa alamat penjual
berada di jarak yang sangat jauh atau antar pulau sehingga tidak bisa bertemu
langsung atau biasanya dikenal dengan COD (Cash on delivery). Penipu akan
meminta calon pembeli untuk mentransfer sejumlah uang terlebih dahulu baru
kemudian barang dikirimkan. Ketika calon pembeli mengirimkan sejumlah uang,
penipu kemudian menghilang bersama sejumlah uang yang dikirim (biasanya nomor
yang dihubungi adalah nomor Handphone dan SIM card langsung tidak aktif).
Ada juga kejadian penjual yang tertipu dengan calon pembeli yang
mengiming-imingi membeli barang dengan jumlah yang banyak dengan syarat
membayar uang muka terlebih dahulu baru kemudian pelunasan ketika barang sudah
diterima. Namun kejadian ini sangat jarang terjadi. Tetapi sebagai penjual,
tentu tidak sedikit kerugian yang dialami ketika tertipu oleh kejadian ini.
Bagaimana cara menghindari penipuan seperti
ini? Cara paling mudah dan efektif untuk
mengatasi penipuan transfer langsung adalah dengan menggunakan jasa
pihak ketiga (Rekber). Sebagai pembeli, untuk menjamin “keselamatan” transaksi,
anda akan mengirimkan sejumlah pembayaran ke rekber dan bisa dikonfirmasikan
untuk dikirimkan ke penjual ketika barang sudah diterima. Sebagai catatan,
penjual dan pembeli harus sama-sama setuju dalam menggunakan jasa
Rekber. Namun keamanan menggunakan rekber juga memiliki resiko, seperti dibahas
di point kedua.
2. Penipuan Rekber Fiktif
Cara ini biasanya dilakukan karena banyak orang menggunakan jasa
rekber (orang ketiga sebagai perantara pembayaran) namun calon korban tidak
mengetahui bahwa perantara tersebut adalah perantara fiktif atau sudah
sekongkol dengan penipu. Penipuan dengan cara ini biasanya
menimpa anda yang bertindak sebagai penjual yang menjual barang. Penipu, yang
bertindak sebagai pembeli, biasanya seolah-olah takut tertipu sehingga
menawarkan sistem pembayaran dengan pihak ketiga (rekber) sebagai syarat
bertransaksi. Tanpa korban ketahui, rekber yang ditawarkan adalah rekber fiktif
alias rekayasa dengan penipu. Penipu akan mengatakan bahwa sejumlah pembayaran
sudah ditransfer ke rekber fiktif. Rekber fiktif biasanya hanya akan
mengkonfirmasi ke penjual melalui telepon atau SMS menggunakan nomor HP
sehingga penjual segera mengirimkan barang. Ketika barang sudah dikirimkan,
kembali lagi, penipu akan menghilang bersama barang yang sudah dikirimkan (sama
seperti penipuan nomor 1, biasanya nomor yang dihubungi adalah nomor
Handphone dan SIM card langsung tidak aktif). Tidak jarang juga
terjadi penipuan “segitiga” dimana penipu bertindak sebagai penjual.
Ketika pembeli percaya menggunakan jasa rekber fiktif dan menyetor sejumlah
pembayaran, saat itu pula sejumlah uang raib tertipu.
Bagaimana cara menghindari penipuan Rekber Fiktif? Hal
utama yang harus anda kenali dalam transaksi dengan menggunakan jasa
pihak ketiga adalah KENALI PIHAK KETIGA TERSEBUT. Tidak jarang orang
“mengatasnamakan” Rekber dalam bertransaksi karena TERLALU MUDAHNYA
transaksi menggunakan jasa rekber tersebut. Ingat, terlalu mudah tidak berarti
transaksi anda akan AMAN.
3. Penipuan Transaksi Segitiga menggunakan Rekber.
Ini adalah modus terbaru yang dilakukan oleh
penipu dalam beroperasi. Tidak tanggung-tanggung,
dengan cara ini dalam satu kali beraksi penipu langsung
bisa menipu penjual dan pembeli. Bagaimana cara penipu beraksi?
Pertama, penipu (faisal) bertindak seolah-olah menjadi penjual dan deal
dengan calon korban yang bertindak sebagai pembeli (korban defri) dengan nilai
transaksi sebesar 500 ribu. Di saat yang bersamaan, faisal bertindak
seolah-olah sebagai pembeli dan deal membeli barang seharga 50 ribu dari
seorang penjual (korban andi). faisal meminta defri untuk mentransfer melalui
rekber dengan tujuan pembayaran ke alamat rekening Korban defri. Setelah itu
faisal mengkonfirmasi kepada Korban defri bahwa dia sudah melakukan pembayaran
(beserta dengan konfirmasi dari rekber yang menerima dana) dan meminta barang
segera dikirim ke alamat yang diminta oleh faisal (biasanya alamat khusus yang
sudah ditunggui oleh faisal namun bukan alamat faisal). Setelah itu, faisal
memberitahu kepada korban defri bahwa faisal sudah kelebihan dalam
mentransfer dan meminta Korban defri untuk melakukan transfer kembali kelebihan
dana, namun kali ini tujuannya ke rekening rekber. Setelah mengecek rekening
dan benar ada kelebihan dana, tentunya korban defri langsung mentransfer
kelebihan dana ke rekening rekber yang diminta oleh faisal. Kelebihan dana tersebut
kemudian digunakan kembali untuk membeli barang dari penjual lain. Taaraaa, 2
korban sekaligus tertipu bukan? Hanya pembeli yang tertipu?
Begini, memang kerugian terbesar dari kasus 3 dialami oleh korban defri.
Namun apa yang dialami faisal sebagi penjual tentu bisa merusak reputasinya dan
ke depannya bisa jadi akan sangat mempengaruhi penjualan dari faisal. Dan satu
lagi, defri secara langsung telah tertipu dengan memberikan dana berlebih
(yang asalnya dari faisal) kepada Penipu.
Bagaimana cara menghindari penipuan transaksi segitiga
seperti kasus 3 kasus diatas?
Dalam hal ini yang sangat harus diperhatikan adalah kebijakan dari
rekber yang digunakan. Sebagai catatan khusus, rekber yang baik adalah rekber
yang mewajibkan anggotanya untuk mencantumkan rekening yang dimiliki calon
anggota dan wajib didaftarkan untuk diverifikasi ketika mendaftar. Rekber
kemudian akan memproses setiap transaksi dari anggota-anggota terdaftar dengan
tujuan atau yang berasal dari rekening-rekening yang sudah terdaftar. Jika ada
transaksi yang meminta tujuan “dialihkan” ke rekening tertentu, tentu ada
sebuah kejanggalan dan pihak rekber tentu memiliki kebijakan sendiri dan berhak
membatalkan transaksi tersebut untuk melindungi dana pembeli dan reputasi
penjual. Bukan begitu?
Bagaimana kita bisa menilai rekber yang benar-benar menjamin keamanan
bertransaksi? Rekber yang terjamin keamanannya biasanya memiliki beberapa ciri
tertentu. Pertama, sebagai pihak ketiga dalam hal
pembayaran online, Rekber tentunya memiliki website resmi sendiri. Website
resmi dalam hal pembayaran sendiri tentunya harus memiliki sistem
keamanan sendiri. Oleh karena itu, website pembayaran yang aman biasanya
menggunakan secure website (terlihat di bar alamat website dan biasanya dengan
menggunakan https://).
Kedua, sebagai badan usaha, rekber yang aman adalah rekber yang memiliki
badan hukum usaha atau dengan kata lain sudah berdiri sebagai perseroan (PT)
diatas dari jasa rekber tersebut.
Ketiga, berhubungan dengan pernyataan kedua di atas, sebagai sebuah badan
hukum atau perseroan, sebuah rekber memiliki rekening atas nama perusahaan.
Walau menggunakan jasa berbagai bank dalam layanannya, semua rekening
dari masing-masing bank pasti adalah rekening atas nama perusahaan (bukan
rekening perorangan).
Selain tiga kasus diatas, masih ada kasus lain yang sudah terjadi atau
bahkan akan terjadi.
Bagaimana perlindungan yang bisa didapat oleh korban ?
bagaimana hukum Indonesia mengatasi hal tersebut?
Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE
ini diatur mengenai transaksi elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan
mengenai online shop ini. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai upaya UU ITE
ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada baiknya kita mengerti
terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik
adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan
melalui komputer ataupun handphone dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi
elektronik.
UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap
dan benar. Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang
lengkap dan benar” adalah meliputi :
1. Informasi yang memuat identitas serta
status subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok,
penyelenggara maupun perantara;
2. Informasi lain yang menjelaskan hal
tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta menjelaskan barang
dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai
kewajibannya sebagai pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak
mencantumkan alamatnya sebagai bentuk informasi yang disediakan, ataupun
deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap sehingga dapat
merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara
online ini adalah masalah mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli?
Banyak penjual yang merasa sudah terjadi kesepakatan sehingga sudah memesan
barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba, pembeli membatalkan untuk
membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi kesepakatan
sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa
“kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada
saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan
disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata dimana
suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu,
setelah penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka
penjual dan pembeli tersebut sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk
mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya bahwa pernyataan “sepakat”
tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk menyatakan
bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu
perselisihan mengenai hal tersebut.
Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online
shop ini adalah baik penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu
dengan lainnya. Informasi menjadi penting dalam sistem perdagangan melalui
online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu secara langsung
pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual
maupun pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan
kewajibannya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh
kasus yang sering terjadi pada sistem perdagangan online adalah bahwa penjual
tidak mengirimkan barangnya meskipun pembayaran telah dilakukan. Apakah
perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu bagaimana
perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?
Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan
secara konvensional. Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam
penipuan secara online, penipuan tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena
itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun.”
UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal
28 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan
secara online ini adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1 Milyar.
Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang
mungkin terjadi dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada
kenyataannya permasalahan ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan
UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi pihak
yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah sistem pengaduan
sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme ini
dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan
online. Nilai transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada
aparat penegak hukum. Terlebih lagi, terdapat paradigma bahwa biaya untuk
pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu sendiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama
harus secara online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan
daftar hitam/blacklist bagi pengguna perdagangan secara online ini yang telah
terbukti merugikan pihak lain.